أحمدك يا رب ملء السماوات و ملء الأرض و ملء ما شئت من شيء بعد, حمدا يوافي مزيد نعمك ويكافئ فضل إحسانك, سبحانك أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك, و أصلي و أسلم على الحضرة النبوية التي ترجمت معاني القرآن الكريم و رسالة الإسلام إلى واقع عملي ملموس, أوجد أمة من العدم, حدد لها مزايا دينها, وخصائص شريعتها, ورسم لها آفاق المستقبل البعيد إلى يوم القيامة, حتى تحافظ على وجودها, و تحمي نفسها من الضياع أو الذوبان أو الانحراف عن جادة الهدي الإلهي الرشيد.Tuhanku, aku memujimu sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang engkau kehendaki setelahnya.. pujian yang sepadan dengan limpahan karunia-Mu dan setara dengan kucuran kemurahanmu. Maha Suci Engkau! tak sanggup aku memuji-Mu sebagaimana mestinya. Engkau terpuji sebagaimana engkau memuji diri-Mu sendiri. aku berdoa semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi saw., yang menerjemahkan kandungan al-Qur'an dan risalah Islam ke dalam realitas praktis. Beliau menciptakan umat dari ketiadaan, mendefinisikan keistimewaan agama dan karakteristik syariatnya, menggariskan untuk umat ini cakrawala masa depan yang jauh hingga hari kiamat, agar umat mempertahankan eksistensinya dan melindungi dirinyasehingga tidak sesat, mencair, atau menyimpang dari petunjuk ilahi yang lurus.
Orang yang sering dan setiap hari berkutat dengan tulisan, mau gak mau pada suatu saat dia juga akan mengeluarkan bakatnya dalam mengolah kata.. yap.. bersastra.
Ada yang tahu kalimat di atas dikutip dari buku mana dan siapa penulisnya?? siapa sangka, tulisan di atas adalah penggalan dari mukadimah kitab tafsir al-Munir karya Syekh Wahbah Zuhaili. Biasanya tafsir selalu identik dengan bahasa yang taktis, tak berbelit, dan to the point. tapi ya memang demikian, mau gmana lagi.
Syekh Wahbah Zuhaili beda, dia bisa menempatkan penggunaan gaya bahasa untuk beberapa tulisannya. pembukaan tafsir al-Munir itu gak bosen-bosen untuk dibaca berulang. Nilai sastranya dapet banget. Saya sampe punya sebuah kesimpulan bahwa setiap ulama' itu pasti memiliki sisi lain sebagai seorang sastrawan. baik ulama mutaqadim maupun muta'akhirin. Imam Syafi'i, Sayyid Qutbh, Buya HAMKA, dan banyak ulama lainnya, mesti memiliki karya sastra yang dibanggakan banyak orang. Atau minimal kalau seorang ulama tak sempat menuliskannya secara tersendiri, dia akan menyelipkan kalimat bernilai sastra di dalam karyanya.
Meliukkan kata tanpa terasa lebay itu menjadi sebuah seni tersendiri yang bisa membedakan setiap penulis satu denagn penulis lainnya.
Terus membaca, terus menulis, terus berkarya
Terus membaca, terus menulis, terus berkarya
0 komentar:
Post a Comment