Dulu ketika drone dan helicam masih dijalankan dan digunakan oleh komunitas aeromodeling, semuanya tenang dan ga ada gaduh, karena semuanya sadar betul untuk tidak terbang pada tempat-tempat terlarang semisal bandara dan dekat fasilitas militer atau rahasia negara. Meski tak ada regulasi dari pemerintah, semua pelaku aeromodeling mengikuti petunjuk keamanan ketika terbang. Bisa dibilang ga ada kejadian aneh dan melanggar aturan komunitas.
Setelah beberapa tahun drone lebih murah, semua orang bisa beli dan pakai, tapi tak semuanya tau dan bisa terbang aman. Masuklah generasi alay pemakai drone yg mengabaikan safety dan dan terbang seenaknya sendiri meski di area terlarang. Kejadian aneh bin ajaib pun bermunculan. pamer foto di bandara, terbang di atas kerumunan dengan ketinggian rendah, dan muncul juga trend selfie menggunakan drone.
Akhirnya, hasil ke-alay-an tersebut, pemerintah mengeluarkan regulasi yang cukup ketat. mulai dari batas tinggi terbang, pengurusan izin terbang, dan aturan lain yang dibuat sepihak oleh pemerintah. Yg kena getah adalah pelaku bisnis drone dan komunitas aeromodeling.
Senada dgn kasus regulasi drone di atas, muncul juga sindrom ngetrap ngetrip makcrit makpleketur (minjam istilahnya Alvin Malana), pendakian gunung yg sebelumnya sebagai tempat latihan fisik, tadabbur alam, dan merenung menemukan hakikat hidup; berubah total menjadi ajang ngalay anak-anak yg kena syndrome tersebut. Nyampah, vandalism, ambil edelweiss seenaknya sendiri, memutus saluran air, sampe meninggalkan api yg masih menyala ketika turun gunung adalah hal yang sering terlihat. Desa sekitar gunung kekeringan karena saluran air terputus dan kebakaran hutan kawasan gunung adalah salah satu bencana dari syndrome ini. Akhirnya kita jengah, masyarakat sekitar gunung jengah, pemerintah pun jengah.
Hasilnya regulasi penutupan pendakian gunung digulirkan pemerintah. Yang kena getahnya adalah pelaku pendaki gunung sebenarnya.
Sekali lagi generasi Alay merusak rantai keseimbangan kehidupan dunia, setelah sebelumnya mereka telah berhasil merusak rantai keseimbangan bahasa Indonesia.
Duh Gusti paringono sabar.
0 komentar:
Post a Comment