Sebelumnya dalam komunitas Arab Hadrami Indonesia terbagi
menjadi dua golongan besar, golongan pertama adalah yang disebut golongan
sayyid atau habaib, golongan ini merupakan keturunan dari Imam al-Faqih
al-Muqaddam Muhammad ibn Alwi yang nasabnya tersambung ke cucu Rasulullah Husein
ibn Ali ibn Abi Thalib radliyallahu anhum, keturunannya disebut Ba’Alawiy
atau ‘Alawiyyin. Dalam perjalanannya orang-orang ‘Alawiyyin terbagi menjadi
klan-klan kecil yang memiliki nama tersendiri dalam setiap keluarga misal,
al-Attas, al-Habsyi, as-Saggaf, dll. Golongan kedua adalah golongan Arab Hadrami
non-sayyid, mereka adalah orang Arab asli Hadramaut-Yaman yang tidak memiliki
nasab ahlul bait sampai pada Rasulullah saw. Golongan ini juga memiliki marga dengan
nama klan masing-masing misal, al-Kathiri, Bawazier, Bakathie, Bassalamah, dll.
Dalam realitas sosialnya hari ini keduanya memiliki
kecenderungan system yang sama dalam hal pernikahan. Pernikahan endogamy dengan
sesama strata dan dari golongan yang sama menjadi sebuah aturan tidak tertulis
dalam komunitas ini yang sudah berlaku sejak beberapa abad yang lalu, dan saat
ini masih tetap berlaku setelah kelompok diaspora hadrami berkembang di
Indonesia dan tempat lainnya di dunia.
Dari kedua golongan Hadrami tersebut saya termasuk golongan
pertama, otomatis saya kena aturan di atas juga. Dalam hal ini, pernikahan endogamy
biasanya secara diteknis diatur oleh orang tua yang melakukan semacam system
perjodohan antar keluarga yang masih termasuk dalam Bani Alawiy.
Dalam beberapa tahun ke belakang, saya menganggap pernikahan
endogamy ini sebagai system kesukuan untuk melindungi sesuatu yang dianggap
berharga, dalam hal ini yang dianggap berharga adalah nasab (garis keturunan)
yang bersambung hingga cucu Rasulullah. Dalam golonngan arab non-sayyid untuk
mempertahankan identitas kesukuan arab mereka. Sampai batas ini saya masih
setuju, namun untuk system perjodohan yang berlaku, saya punya pandangan
berbeda. Mungkin karena jenjang pendidikan yang ditempuh dan komunitas tempat
saya bergaul selama ini mempengaruhi preferensi saya dalam memandang masalah
ini. Memilih jodoh itu sebuah hak merdeka dari sebuah yang tidak perlu diatur
sedemikian rupa oleh orang tua, karena yang akan menjalaninya bukanlah orang
tua.
Preferensi saya dalam memilih pasangan pun akhirnya mengarah
para orang yang memiliki pemahaman keagamaan, strata pendidikan, cara pandang
dan berpikir, dan visi hidup yang sama. Hal ini diperbolehkan oleh ibu saya dengan
memberi catatan “harus tetep Alawiyyin”. Pada kenyataannya mencari pasangan
hidup dengan secara mandiri dengan preferensi pribadi dan ditambah syarat dari
orang tua tidak semudah yang dipikirkan. Saya tidak sebebas teman-teman saya
yang tidak diikat oleh aturan kesukuan yang ketat dalam memilih pasangan hidup.
Pada akhirnya saya pun menyerah dalam urusan mencari jodoh
secara mandiri, dan mengembalikan urusan ini sepenuhnya ke ibu saya, kembali ke
system perjodohan yang sudah berlaku beratus tahun lalu. Pandangan saya berubah
tentang system perjodohan, saya memiliki keyakinan filter orang tua dalam
memilihkan pasangan untuk anaknya adalah filter terbaik, karena tidak mungkin
orang tua menghendaki sesuatu yang tidak baik untuk anaknya, apalagi orang tua
yang memiliki pemahaman keagamaan yang cukup, meski nanti keputusan akhirnya
berada pada pribadi masing-masing.
Hal yang sama ternyata dialami oleh kawan saya sesama Arab
Hadrami Indonesia yang akan menikah beberapa bulan lagi. Awalnya dia mencoba
mencari dengan preferensi sendiri, namun selalu menemui ketidakcocokan. Pun akhirnya
dia kembalikan ke system yang sudah berlaku sekian abad dengan orang tua
sebagai pemberi preferensi pertama. Qadarullah sekali ditunjukkan keduanya
cocok dan sepakat untuk menikah.
Dalam hal ini saya menyadari bahwa sebenarnya sistem kesukuan
yang dibuat sedemikian rupa berates tahun lalu, bukanlah sebuah hal yang
dipandang sebelah mata, kuno, terbelakang dan tidak modern. Ada unsur kebaikan
yang diperjuangkan melalui sistem tersebut, hanya saja sebagai orang yang hidup
di masa sekarang harus melacak dan berpikir sejenak untuk menemukan unsur
kebaikan dalam sistem tersebut.
Menikah bukanlah sebuah tujuan dari sebuah perjalanan
kehidupan, tetapi merupakan sebuah awal dari sebuah fase kehidupan seorang
manusia. Dan Allah akan mempertemukan jodoh antar manusia sesuai dengan visi
hidup yang mereka yakini dan kecocokan jiwa yang Allah sudah pertemukan jauh
sebelumnya. Maka jangan pernah berburuk sangka sedikitpun terhadap Allah
tentang perkara jodoh.
Wa Allahu musta’an
Yaaps, mas. Saya setuju dengan statement:..saya memiliki keyakinan filter orang tua dalam memilihkan pasangan untuk anaknya adalah filter terbaik, karena tidak mungkin orang tua menghendaki sesuatu yang tidak baik untuk anaknya.
ReplyDeleteItu pula yang menjadi pegangan saya ketika memutuskan: ya atau tidak.
Karena kan ridha orang tua adalah ridha Allah juga.
@lia: kenapa elu jadi curcol di lapak Gueh.. ����
ReplyDeleteWew, rumit jg ya. Semangat mi!
ReplyDeletekelihatan rumit, karena belum dipertemukan.
ReplyDeletesemoga segera dipertemukan dengan jodoh yang se-visi, sepaham dan sepemikiran.
terus yang nge trip nge trip itu piye mas?
ReplyDeleteAga rumit yak hehe.. Smga sgera dipertemukan jodohnya mas :)
ReplyDelete