Pemandangan yang terlihat setiap hari. Sindoro, Sumbing, dan Dataran TInggi Dieng |
Akhir bulan February, saya diminta ibu untuk pulang kampung, pulang sepenuhnya tanpa kembali ke Jogja. Permintaan itu punya konsekuensi, saya harus melepas semua hal yang mengikat saya di Jogja. Saya harus berhenti dari pekerjaan yang sudah saya geluti dua tahun di jogja, melepas semua jejaring yang sudah terbangun tujuh tahun terakhir, berpisah dengan rekan dan guru-guru, juga berlepas dari indahnya Jogja dengan segala macam keistimewaannya.
Berat? Iyalah.. Saya harus kembali ke Semarang (Semarang coret, tempat tinggal saya dah masuk Kab. Kendal, tapi lebih dekat ke Semarang). Hal yang selalu terlintas di pikiran adalah, Apa yang bisa saya lakukan ketika pulang ke rumah? Tanpa jejaring dan akses semudah sebelumnya, masa transisi akan terasa berat. Karena membangun jejaring seperti saat di jogja itu ga semudah dan sesingkat yang dibayangkan. Dan keputusan pun dibuat, saya jadi pulang dengan masih membawa sedikit peluang bisa kembali lagi ke Jogja.
Saya pulang untuk operasi pengangkatan plate yang sudah tertanam di bahu sebelah kanan kurang lebih satu tahunan. Kurang lebih satu minggu mengurus administrasi dan uji lab beberapa kali, hari penjadwalan operasi sudah keluar. 11 Maret, saya menjalani operasi di RSUD Dr. Suwondo, Kendal. Operasi berjalan lancar dan plate sepanjang 14 sentimeter dengan 7 screw tercabut dari bahu. Cukup lega dengan lancarnya operasi, bahu jadi terasa lebih enak dengan tidak adanya logam yang menempel di bahu. Selama satu bulan pasca operasi, kegiatan rutin saya hanya recovery dan berkunjung ke dokter, sambil mikir dan mentransisikan diri di lingkungan baru. Sempat juga ada niat untuk kembali ke Jogja, tapi saya ga sanggup nolak permintaan ibu saya lagi, karena sebenarnya saya sudah di suruh pulang sejak lulus kuliah, berkarya di sekitar rumah, dan menemani ibu yang lebih tenang jika anak lelaki tertuanya di rumah; mengambil alih posisi kepala keluarga de facto dan de jure.
Jejaring yang saya akses pertama kali adalah KAGAMA Kendal (keluarga alumni gadjah mada), kebetulan saya kenal dan pernah berdiskusi dengan ketuanya. Setelah berdiskusi dengan ketuanya langsung, saya sedikit tahu tentang daerah saya, baik kondisi politik, masyarakat, dan kondisi ekonominya. Dari situ saya jadi tahu, bahwa banyak sekali hal yang ga beres di Kendal.
Dari diskusi itu akhirnya lahir sebuah komunitas "cendekia" kendal, anggotanya adalah orang-orang yg terlahir di kendal maupun yang sudah pulang ke kendal, ada dosen, pejabat pemda, dll.. Ga terbatas dari alumni UGM saja. Komunitas ini dinamai "Kaukus Cendekia Muda Kendal". Dengan bisa mengakses jejaring ini, setidaknya saya bsa agak senang, setidaknya bisa ketemu orang-orang yang sepemikiran dan "mau" untuk do something.
Senam Taiso
9 Mei, mulai tanggal itu saya punya aktivitas rutin setiap paginya. Setiap pagi saya harus ikutan senam Taiso, salah satu senam dengan iringan piano dari negeri Sakura. Singkat cerita, dalam proses transisi di rumah, dalam hal ini transisi pekerjaan, saya berlabuh ke sebuah perusahaan manufaktur Jepang. Perusahaan ini lokasinya tidak jauh dari rumah, hanya 15-20menit dari rumah. Perusahaan ini level direksi hampir semuanya orang jepang. Satu hal yang cukup unik adalah semua karyawan diwajibkan senam taiso 5 menit sebelum jam kerja di mulai. Jadilah Taiso sebagai keseharian yang harus saya lakukan.
9 Mei, mulai tanggal itu saya punya aktivitas rutin setiap paginya. Setiap pagi saya harus ikutan senam Taiso, salah satu senam dengan iringan piano dari negeri Sakura. Singkat cerita, dalam proses transisi di rumah, dalam hal ini transisi pekerjaan, saya berlabuh ke sebuah perusahaan manufaktur Jepang. Perusahaan ini lokasinya tidak jauh dari rumah, hanya 15-20menit dari rumah. Perusahaan ini level direksi hampir semuanya orang jepang. Satu hal yang cukup unik adalah semua karyawan diwajibkan senam taiso 5 menit sebelum jam kerja di mulai. Jadilah Taiso sebagai keseharian yang harus saya lakukan.
Bergabung ke perusahaan dengan tagline "For Earth, For Life" ini juga hal yang saya syukuri, karena secara visi dan pengelolaan manajemen perusahaan sejalan dengan pikiran dan nilai yang saya yakini dari proses pendidikan yang sudah berjalan.
Halaman Depan Kantor |
Dari cerita di atas, saya ingin sedikit berbagi bahwa transisi dari satu pekerjaan dan lingkungan lama ke lingkungan baru itu ternyata tidak semudah yang di bayangkan. Dan yang paling susah adalah membangun jejaring dan akses di tempat baru, karena tanpa itu semua, akan agak susah untuk do something great.
Transisi pekerjaan pun biasanya jadi hal yang dikhawatirkan, karena ga semua orang bisa melewatinya dengan cepat. Beberapa kawan saya ada yang 6 bulan sampai satu tahun untuk berhasil mentransisikan diri ke pekerjaan baru. Saya cukup beruntung banget, bsa lompat ke pekerjaan baru dalam tempo yang relatif singkat. Alhamdulillah...
Satu hal yang paling penting, ridho dan doa orang tua itu ternyata jadi salah satu kunci. Kadang permintaan orang tua itu terasa aneh bagi pikiran kita, tapi sepanjang itu tidak mengarah pada kemaksiatan, sebisa mungkin kita coba turuti. (khusus bagian ini mudah ngomongnya, ngelakuinnya susah). Penolakan saya di awal terhadap permintaan orang tua, jika dipikir dan ditulis di atas kertas akan mengarah pada kesimpulan; saya lebih bisa berkembang dengan bertahan di Jogja. Tapi kenyataannya tidak demikian, dengan mencoba menurut orang tua, Allah takdirkan dan hadirkan rezeki dan kemudahan yang tidak disangka. Saya bisa tetap produktif, menemani orang tua, dan punya lahan kontribusi di tempat baru.
Semoga bermanfaat dan semoga berkah di manapun kita berkarya..
Salam,
Fahmi Basyaiban
1 Juni 2016.
1 Juni 2016.
oh ini yang dimaksud senam taiso hha,,
ReplyDelete:))
ReplyDelete