Terlahir dengan nama Muhammad Hasan, nama yang diberikan oleh seorang pengajar di Masjidil Haram yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, Sayyid Alawy ibn Abbas al-Malikiy al-Hasany. Nama yang diambil dari dua nama leluhurnya yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW dan Pemuda Penghulu jannah, Hasan ibn Ali RadliyAllahu 'Anhu. Al-Malikiy adalah mazhab beliau, penggunaan nisbah al-Malikiy menunjukan beliau berfiqh dengan madzhab Maliki. Al-Hasany adalah penisbahan pada nasab, nasab yang tersambung sampai Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib.
Sayyid Muhammad ibn Alawy al-Malikiy al-Hasani atau dikenal sebagai Sayyid Maliki, sejak kecil mempunyai himmah yang tinggi terhadap ilmu, pendidikan formal yang dia tempuh mengantarkannya sampai pada jenjang tertinggi di dunia pendidikan dan mengabdikan dirinya dengan mengajar. Beliau tercatat sebagai Profesor di Jami'ah Ummul Qura Makkah dan Jami'ah Malik Abdil Aziz Jeddah. Tidak hanya di dunia pendidikan formal, beliau juga berguru kepada banyak ulama' melalui pembelajaran islam klasik yang nasab ilmunya tersambung hingga Rasulillah SAW.
*Menjadi Guru di Masjidil Haram *
Pasca kematian sang ayah, Sayyid Maliki diminta untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pengajar di Masjidil Haram. Meneruskan tradisi belajar yang sudah berjalan ratusan tahun sepanjang sejarah peradaban Islam. Syed Maliki meninggalkan jabatannya di universitas untuk mewarisi apa yang sudah dilakukan ayahandanya. Semua gelar akademik dia lepaskan untuk mengabdikan diri pada sistem pendidikan islam klasik yang menjaga nasab ilmu agar tetap tersambung seperti mata rantai sampai nabi Muhammad SAW.
Menjadi pengajar di Masjidil Haram ternyata tidak mudah bagi beliau, fitnah dari pihak yang berseberangan pemahaman dengan beliau semakin menguat dan membuat keadaan tidak tenang. Sayyid Muhammad memilih mengalah untuk menjaga kedamaian di Masjidil Haram. Beliau mendirikan rubath di Rushaifah, daerah pinggiran kota Makkah.
Programnya ini dinamakan Masyru' al-Malikiy (Maliki Project), beliau mendirikan pusat pembelajaran keislaman dengan metode klasik. Berbagai muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru negeri muslim di dunia. Program pendidikan ini memakan waktu sepuluh tahun dari awal sampai akhir pembelajaran, kitab induk pembelajaran islam dikaji dari awal sampai akhir di sini dengan sistem talaqqi. Di tahun akhir pembelajaran, semua "mahasantri" diwisuda dengan pemberian sanad ilmu, dengan penyebutan urutan mata rantai pembelajaran dari Abuya Sayyid Maliki hingga Rasulillah SAW. Terutama dalam pembelajaran hadits, sanad dan matan harus dihafal, dan terus tersambung sampai Rasulillah.
Meski beliau bermadzhab Maliki, dalam pengajaran di Maliki Project semua madzhab dipelajari. Beliau tidak pernah menjadikan muridnya untuk menjadi penganut Madzhab Maliki.
Ada hal yang menarik di Masyru' al-Malikiy, pertama, semua mahasantri yang belajar di sini tidak akan mendapatkan gelar akademik bachelor, master, maupun doktor. Mereka belajar setara sampai pada level doktoral tapi tidak akan mendapat gelar, sama seperti ulama salaf yang tak bergelar dalam level pendidikannya. Bagi mereka yang mengejar gelar akademik, tempat ini bukan pilihan yang tepat.
Kedua, seluruh mahasantri dilarang keras memanggil Sayyid Muhammad al-Malikiy dengan panggilan Syaikh, Ustadz, Sayyid, atau panggilan sejenis. Semuanya harus memanggil dengan panggilan Abuya (ayahku), hal ini adalah salah satu metode pengajaran, agar hubungan antara guru dan murid lebih dari sekedar hubungan transfer ilmu. Seluruh mahasantri tinggal dalam ribath bersama Abuya, mereka bertalaqqi dan bermulazamah dengan guru agar transmisi pembelajaran adab dan akhlak berjalan. Karena tak ada cara yang lebih efektif dalam pengajaran adab kecuali dengan mulazamah. Sama seperti yabg dikatakan mufasir dari zaman tabi'in Abdullah ibn al-Mubarak, "aku dua tahun belajar ilmu dengan guruku, 18 tahun belajar adab bersamanya".
*Guru Ulama Nusantara*
Pada dasarnya apa yang dilakukan adalah meneruskan tradisi keilmuan yang sudah terbangun sejak dahulu. Mahasantri yang datang ke tempat beliau beberapa adalah warga indonesia, mereka belajar sebagaimana leluhur mereka belajar. Dahulu orang Indonesia juga pernah sampai menjadi pengajar dan imam di Masjidil Haram yang mulia, tercatat Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fadani adalah satu di antara ulama nusantara yg gemilang di tanah suci. Mereka mengejar cahaya keislaman dan mengazamkan diri menjadi pewaris para nabi. Dan sampai hari ini metode klasik ini masih ada dan terus hidup.
Hari ini banyak alumni dari Maliki Project yang kembali ke Indonesia dan menjalankan aktivitas dakwahnya di berbagai tempat. Satu hal yang saya kagum dari mereka adalah kesabaran dan mujahadahnya dalam menuntut ilmu. Sepuluh tahun belajar penuh, berangkat ga bergelar, pulang pun tak bergelar, cukup ilmu yang menguatkan iman yang mereka bawa, dan kembali ke tanah air dengan memulai semuanya dari nol.
Seminggu yang lalu, saya diundang dalam acara Halal bi halal Alumnus Maliki Project, mereka tergabung dalam wadah Hai'ah ash-Shofwah al-Malikiyah. Wajah teduh, tingginya ilmu, dan kelembutan akhlaq; membuat saya berasa ramahan rempeyek yang udah ditumbuk,terus ketiup angin... #buuurr..
"Monggo duduk di depan saja, bib" pinta Syaikh Ruwaifi, salah satu murid kesayangan Abuya Muhammad sekaligus tuan rumah acara ini. Saya menolak, ga kelas banget duduk di barisan paling depan di antara para jebolan Maliki Project.
Dalam acara ini, acara intinya adalah mengenang kembali jasa guru mereka, mengisahkan biografi Abuya Muhammad, dan bertukar kabar project dakwah masing-masing.
Abuya Muhammad telah meninggal tahun 2004, Maliki Project sampai hari ini masih tetap berjalan, dilanjutkan oleh putra beliau, Sayyid Ahmad ibn Muhammad al-Malikiy. Semoga Allah berikan mereka semua keberkahan dalam menjaga cahaya keislaman, karena merekalah pewaris nabi.
Semoga kita pun bisa mengambil ilmu dari para pewaris nabi.. Aamiin
Fahmi Basyaiban,
01 Agustus 2016.
0 komentar:
Post a Comment