Salah satu nasihat kadang juga dimaknai teguran yang berulang-ulang dari ustadz saat di asrama adalah perkara sarung dan kopiah/songkok. "Kalau shalat usahakan pakai Sarung dan Songkok untuk menjaga jaminan kesucian pakaian. Pakai Songkok sebagai bagian dari membaguskan pakaian yang dikenakan untuk ibadah". Dan benar saja, setiap kali jamaah shalat ada salah satu di antara kami tidak pakai Songkok teguran itu datang, "Songkok kamu di mana?“ sampai kadang tegurannya cukup keras "apa perlu saya belikan songkok?" °
Lain waktu, ustadz memberi tahu bahwa kemanapun bawa kopiah/songkok untuk keperluan shalat. Hal ini dikarenakan ketika suatu masjid tidak ada imam nya, kami bisa langsung menggantikannya tanpa keraguan pada jamaah lainnya "masa sih imamnya ga pakai Songkok". Sebagai santri kami disiapkan untuk bisa jadi solusi jika ada keadaan ketiadaan imam, khatib, penceramah, atau keadaan lainnya. °
2 syawal kemarin saat berkunjung ke Jogja, bertepatan dengan waktu maghrib di masjid Kampus. Karena waktu libur lebaran, imam tetap masjid kampus pun ikut libur. Pengurus yang ada, mantan rektor UNY (saya lupa namanya) yang jadi jamaah tetap di Maskam UGM menawari beberapa orang untuk jadi imam, namun semuanya menolak. Tiada pilihan lain selain menawarkan diri, tapi satu kesalahan pada saat itu yakni tak bawa songkok/kopiah. Akhirnya beliau meminjamkan songkoknya, tentu dengan ukuran kepala yang kecil. Saya yakin penampilan dengan songkok kekecilan itu kurang terlihat bagus, tapi apa boleh buat. °
Saat itulah nasihat ustadz di asrama menyeruak kembali dengan jelas. Perkara sarung dan songkok memang terlihat sepele, tapi hal ini jadi ukuran di masyarakat pada penampilan standar seorang imam shalat. Semoga Allah berkahi guru-guru kamu semua atas nasihat yang terekam kuat sampai hari ini. °
300617 °
@fahmi.basyaiban
0 komentar:
Post a Comment